Friday, June 21, 2013

Taat Kepada Pemerintah

KHUTBAH PERTAMA:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Marilah kita bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat kepada kita, nikmat yang amat banyak, berupa nikmat Iman, Islam, nikmat Sunnah dan nikmat sehat, sehingga kita masih bisa mendekatkan diri kepadaNya.

Hari ini khatib akan berbicara tentang kewajiban seorang Muslim terhadap pemimpinnya. Sebelum kita lebih lanjut menjelaskan bagaimana kewajiban seorang Muslim terhadap pemimpinnya, kita awali dulu penjelasan siapa mereka Amirul Mukminin?

Barangsiapa memegang tampuk kekuasaan, dan kondisi sosial menjadi stabil pada saat kekuasaannya, maka dia dinamakan Amirul Mukminin, baik berkuasanya itu dengan cara syar'i atau tidak. Yang dimaksud dengan syar'i adalah amir yang ditunjuk langsung oleh imam sebelumnya, seperti yang terjadi pada kekhilafahan 'Umar bin al-Khaththab, atau dia terpilih melalui musyawarah ahlu halli wa al 'Aqdi, seperti 'Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Adapun jalan yang tidak syar'i adalah dengan menggunakan kekuatan dan senjata sehingga kondisi sosial stabil di tangannya, maka dia juga dinamakan Amirul Mukminin yang wajib kita taati.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Barangsiapa yang menang atas peperangan dengan menggunakan pedang sehingga ia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang dinamakan Amirul Mukminin, maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun jahat." (Al-Ahkam as-Sulthaniyah karya Abu Ya'la.)

Jama'ah Jum'at yang Dirahmati Allah

Ahlu Sunnah wal Jama'ah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya,

1. Meyakini wajibnya bai'at terhadap penguasa.

Ketahuilah bahwa orang yang menjadi khalifah secara sukarela, di mana manusia sepakat dan ridha kepadanya, atau karena khalifah tersebut dapat menundukkan mereka dengan kekuatan sehingga ia menjadi khalifah, maka mereka wajib taat kepadanya dan haram keluar dari ketaatan kepadanya. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

"Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa) niscaya ia akan menjumpai Allah dalam kondisi tanpa memiliki hujjah. Dan barang siapa meninggal tanpa ikatan bai'at maka kematiannya seperti kematian jahiliyyah." (HR. Muslim).

Hadits yang mulia ini menunjukkan wajibnya berbai'at kepada seorang penguasa yang telah mampu mengendalikan kondisi sosial di bawah kekuasaannya, dan haram untuk keluar dari ketaatan terhadap penguasa tersebut; baik dia shalih atau fajir.

Kewajiban bagi setiap Muslim yang berada di bawah seorang penguasa Muslim yang telah disepakati oleh kaum Muslimin bahwa ia sebagai penguasa, atau dapat menundukkan dengan pedangnya, hendaknya berbai'at kepadanya dan meyakini wajibnya berbai'at kepadanya. Barangsiapa yang tidak mempunyai niatan untuk ber-bai'at kepadanya atau tidak meyakini kewajibannya, maka ketika dia mati, maka kematiannya sama dengan kematian orang-orang jahiliyah.

Satu hal yang wajib kami perjelas di sini, adanya salah penafsiran terhadap hadits di atas dari beberapa kelompok pergerakan, yaitu bai'at yang ditujukan kepada pemimpin para jama'ah tersebut, dan mewajibkan kepada setiap individu untuk mengadakan jabat tangan secara langsung kepada pemimpin-pemimpin mereka, dan barangsiapa yang tidak melaksanakannya, maka dianggap kafir atau tidak layak untuk mendapatkan loyalitas. Ini merupakan pemahaman yang batil (keliru).

Bai'at itu hanyalah kepada khalifah atau Amirul Mukminin, tidak kepada yang lainnya, dan tidak berarti setiap kaum Muslimin harus mendatangi Amirul Mukminin atau wakilnya untuk berjabat tangan, tapi cukup untuk meniatkan dan meyakini kewajibannya. Sebab tidak pernah diceritakan bahwa ketika Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, kaum Muslimin berbondong-bondong mendatangi mereka untuk berjabat tangan, tapi yang membai'at mereka secara langsung hanyalah ahlul halli wal 'aqdi.

2. Menaati mereka dalam perkara yang ma'ruf

Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah, mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa`: 59).

Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.

"Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat." (HR. Al-Bukhari no. 7144; dan Muslim no. 1839).

Beliau صلي الله عليه وسلم juga bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ.

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah adalah) seorang budak Habasyi (yang hitam)." (HR. At-Tirmidzi no. 2676 dan lainnya, serta dishahihkan al-Albani).

Dan beliau صلي الله عليه وسلم juga bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ.

"Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang Muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat kepadaku." (Muttafaq Alaih).

Dan tentang ini Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya taat kepada penguasa (pemerintah) adalah wajib. Berikut ini adalah sejumlah kutipan dari ulama-ulama besar Ahlus Sunnah tentang wajibnya taat kepada pemimpin dan akibat buruk dari membangkang:

Al-Imam al-Barbahari berkata, "Barangsiapa memegang kekuasaan dengan kesepakatan kaum Muslimin dan mereka ridha kepadanya, maka ia adalah Amirul Mukminin. Haram bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun fajir."

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Para ulama telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemimpin yang menang (dalam memperebutkan kekuasaan) dan wajib jihad bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada membangkang kepadanya, karena hal tersebut akan mencegah pertumpahan darah dan menciptakan ketenangan rakyat."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang-orang yang memberontak kepada pemimpin, pasti akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikannya." (Minhaj as-Sunnah).

Akan tetapi kewajiban taat kepada penguasa tersebut diberi batasan sendiri oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم dengan sabdanya,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.

"Tidak boleh taat terhadap perintah bermaksiat kepada Allah, sesung-guhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma'ruf." (Muttafaq Alaih)

3. Memberi nasihat kepada mereka dengan cara yang baik

Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

"Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadits hasan)

Cara menasihati penguasa

Menasihati penguasa hendaklah dengan menggunakan adab dan retorika tersendiri, jangan sampai disamakan dengan menasihati rakyat biasa. Hendaklah lemah lembut, secara diam (tidak terang-terangan), tidak menyebut-nyebut keburukan dan kesalahan mereka di khalayak ramai dan di atas mimbar. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi صلي الله عليه وسلم,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.

"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah dia menampakkannya secara terbuka, tapi hendaklah dia menggenggam tangannya dan mengajaknya berduaan dengan-nya, jika ia menerima darinya, maka itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya terhadapnya." (HR. Ahmad no. 15333; dan Ibnu Ashim dalam as-Sunnah no. 1096-1098 dan berkata al-Albani dalam takhrijnya, 2/523, "Hadits ini shahih dengan mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya.").

Syaikh asy-Syanqithi berkata, "Kaum Muslimin terhadap penguasa yang zhalim ada tiga kelompok:

Pertama, mampu untuk memberikan nasihat kepadanya, beramar ma'ruf nahi mungkar kepadanya dengan tidak mendatangkan kemungkaran yang lebih besar dari sebelumnya, maka nasihat dalam kondisi seperti ini adalah sebagai bentuk jihad dan menyelamatkan dia dari dosa walaupun nasihat itu tidak berpengaruh kepadanya. Dan wajib mengemukakan nasihatnya dengan cara yang baik dan lemah lembut.

Kedua, tidak mampu menegakkan nasihat dikarenakan kezhalimannya yang begitu parah, dan dapat menimbulkan mudharat yang lebih besar, maka dalam kondisi seperti ini pengingkarannya hanya dengan hati.

Ketiga, ridha (setuju) atas kemungkaran yang dilakukannya, dengan demikian orang bersangkutan berserikat dalam dosa dengannya.

Maka perlu diperhatikan oleh orang yang akan menyampaikan nasihat atau mengingkari kemungkaran seorang penguasa agar memahami kaidah-kaidah syar'i, maslahat, dan mafsadat yang akan timbul.

4. Tidak mengadakan kudeta (pemberontakan)

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengharamkan keluar dan memberontak kepada pemimpin mereka jika pemimpin berbuat dosa selain kekufuran, hendaklah sabar jika hal tersebut terjadi, karena Nabi صلي الله عليه وسلم memerintahkan agar taat kepada mereka dalam segala hal selain maksiat, dan tidak boleh memeranginya selama tidak melakukan kekufuran yang nyata, mereka tidak boleh diperangi sehingga nampak kekufuran yang nyata dan kejelasan yang dapat dibuktikan. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. (Dan sebaliknya) Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.' Lalu para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka dengan pedang?' Beliau menjawab, 'Tidak, selama ia menegakkan shalat di antara kalian. Dan Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah amalnya dan janganlah kamu melepaskan (diri) dan ketaatan kepadanya." (HR. Muslim no. 1855).

Ketahuilah bahwa kezhaliman penguasa berawal dari dosa yang kita perbuat, maka janganlah menolak keburukan dengan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura': 30).

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

"Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan." (Al-An'am: 129).

Imam al-Hasan al-Bashri berkata, "Ketahuilah -semoga Allah mengampuni Anda- bahwa kejahatan pemimpin itu merupakan salah satu bentuk murka Allah, dan murka itu tidak dapat dihadapi dengan pedang, akan tetapi dicegah dan ditolak dengan doa dan taubat, kembali ke jalan Allah dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya murka Allah itu bila dihadapi dengan pedang, maka murka tersebut akan lebih parah."

Diceritakan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah mendengar seseorang mendoakan al-Hajjaj dengan keburukan, maka dia berkata, "Janganlah kamu berbuat demikian, -semoga Allah merahmati kamu- sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah disebabkan perbuatan diri kalian sendiri. Sesungguhnya kami khawatir seandainya Hajjaj dicopot dari jabatannya atau wafat, justru akan datang seorang pemimpin yang berwatak kera atau babi." (Adab al-Hasan, karya Ibnu Jauzi: 119).

Maka jalan yang terbaik untuk menyelamatkan diri kita dari kezhaliman seorang penguasa adalah bertumpu pada tiga hal:

Pertama, hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah.

Kedua, hendaklah Kaum Muslimin memperbaiki akidah mereka.
Ketiga, hendaklah mereka mendidik diri dan keluarga di atas Islam yang benar, Islam yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya. Hal ini bersandaran pada Firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar-Ra'du: 11).

5. Mendoakan mereka dengan kebaikan

Mendoakan para pemimpin dengan kebaikan, hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang ditempuh salafus shalih.

Al-Imam al-Barbahari berkata, "Jika Anda melihat orang yang mendoakan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk pengikut hawa nafsu, namun bila Anda melihat orang yang mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk ahlu sunnah."

Al-Imam al-Fudha`il bin 'Iyad berkata, "Seandainya saya mempunyai doa yang mustajab pasti tidak akan saya panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin." Kita diperintahkan agar mendoakan kebaikan bagi mereka, dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan bagi mereka, walaupun mereka jahat dan zhalim, karena kezhaliman mereka akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri, dan kebaikan mereka juga untuk dirinya sendiri dan untuk kaum Muslimin. .

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذا، وَأَسْتَغْفِرُ اللّهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ, إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH YANG KEDUA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jamaah Jum'at yang Dirahmati Allah

6. Tidak mudah dan sembrono dalam mengkafirkan mereka

Takfir adalah merupakan hak Allah, maka tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang yang berhak dikafirkan. Karena mengkafirkan seseorang dengan sembrono tanpa hujjah, maka kekufuran itu akan kembali kepada yang menuduh. Nabi bersabda,

مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرٌ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.

"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, 'Wahai kafir', maka (tuduhan tersebut) akan kembali kepada salah satu dari keduanya." (Muttafaq Alaih).

Adapun kaitannya dengan penguasa, maka mengkafirkan penguasa akan menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak negatif yang timbul setelahnya. Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan bahwa penguasa tidak boleh dikafirkan, kecuali terkumpul beberapa syarat:

1. Kita melihat kekufuran yang nyata, tidak ada kesamaran lagi.

2. Ada kejelasan bukti yang nyata dari al-Qur`an dan Sunnah serta Ijma' tentang kekufurannya. Dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata,

دَعَانَا النَّبِيُّ، فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا: عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللّٰهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

"Nabi صلي الله عليه وسلم mendakwahi kami, maka kami berbai'at kepada beliau. Maka beliau menatakan tuntutan yang wajib kami penuhi apabila beliau membai'at kami, (ialah): mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan suka atau terpaksa, ketika dalam kemudahan ataupun sulit, dan (sekalipun) sewenang-wenang terhadap kami, dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kamu mempunyai bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu." (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Pihak yang berhak memvonis kafir dan tidaknya adalah ulama. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri), kalau tidak karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)." (An-Nisa`: 83) ,

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ تَسْلِيمًا كَثِيرًا وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالمَينَ.

Oleh: Abu Qatadah

No comments:

Post a Comment