Saturday, November 4, 2006

Tentang Bacaan Niat Sholat

Pendahuluan
Ketika sholat di musholla, kadang tanpa sengaja saya melihat cara orang lain memulai sholat, dari berdiri sampai salarnnya. Yang menarik saat akan memulai sholat (“berniat”). Ada yang biasa, ada yang tampak konsentrasi dan lama, ada yang cepat dan seperti di batin saja, dan ada pula yang sampai memejamkan mata. Meski awalnya dianggap hal biasa., tapi lama-lama jadi tertarik untuk menganalisis cara niat dan bacaan sholat secara urnum.
Mula-mula ingat, dulu diajarkan oleh orang tua tentang tata cara sholat, semua bacaannya memang dilafalkan, tak terkecuali niatnya.
Kemudian ketlka masuk madrasah, pada pelajaran Fiqh dalarn kitabnya juga diajarkan lafal-lafal niat sholat. Jadi sepertinya niat identik dengan lafalnya. Namun, seiring berlanjutnya studi, ketika mempelajari lebih kitab yang "lebih lanjut", lafal-lafal niat tidak disinggung lagi. Dulu diajarkan bahwa niat itu di hati dan bersamaan dengan gerakan awal sholat (takbir al-ihrom). Terlebih lagi, menurut pengamatan, banyak guru yang saat takbir al-ihrom dengan mengangkat kedua tangannya termasuk lama.
Sementara bisa disimpulkan, niat berarti lafal niat itu sendiri, baik dikatakan dengan lisan maupun dalam hati. Perlu diperhatikan pula bahwa dalam keseharian kita niat juga diartikan sebagai kesengajaan,maksud, ataupun kesungguhan dalam melakukan sesuatu.
Namun seiring berjalannya waktu pula, penulis merasa ada yang kurang sreg, yakni tentang bersamaannya niat di hati dengan takbir al-ihrom. Akibatnya bacaan takbir-nya sendiri (اكبر لله) cenderung hanya "di bibir saja", kurang dihayati. Padahal sebelum takbir kebanyakan dari kita juga melafalkan niat sholat, yang berarti niat-nya dua kali, secara lisan dulu, baru di hati (bersamaan takbir al-ihrom). Yang jadi permasalahan, adalah kenapa niat sepertinya harus diulang dalam hati kalau sudah dilafalkan sebelumnya? Lagi pula lafal niat juga telah dibuatkan, dan lafal nya menggunakan bentuk indikatif (fi’il mudlori’), yang mengandung arti “akan…”.
Oleh karena itulah, penulis mencoba mencari alasan yang metodik tentang hal itu. Dan secara kebetulan, ketika penulis berusaha rnendalami bab Speech Acts (dalam kuliah Semantics}, di sana terdapat ulasan tentang asal-mulanya teori Speech Acts, yakni tentang ide pembedaan ucapan-ucapan Performatif dengan ucapan-ucapan Konstatif.

Berkata berarti berbuat
Pada intiriya ucapan performatif merupakan realisasi dari tindakan dan bukan laporan tentang perbuatan atau kejadian. Sebaliknya, ucapan konstatif merupakan pemberitaan atau menceritakan suatu fakta, dan biasanya dapat dinilai, benar atau salah.
Lafal niat sholat yakni ....اصلى (Soya akan sholat...), kajau dibaca merupakan suatu perbuatan, bermaksud akan sholat; bukan menceritakan sholatnya. Susunan kalimat tersebut tidak bisa disamakan dengan lafal ...الحمد لله atau …الله اكبر yang cenderung konstatif. Jadi sementara bisa disimpulkan, secara tata-bahasa ucapan performatif memakai dhomir mutakallim wawahdah, fi'il mudhori', dan jumlah-nya ismiyyah.
Akan tetapi, bacaan ...الحمد لله atau …الله اكبر, meski secara tata bahasa termasuk pernyataan, jika dibaca dalam konteksnva (sholat) ternyata merupakan sebuah pemujian dan permohonan, yang berarti juga merupakan sebuah tindakan.
Melihat kenyataan di atas tadi maka dibuat aturan agar suatu ucapan sungguh-sungguh performatif, yakni: (1) orang yang; mengucapkan harus bersikap bonafide atau jujur, (2) mempunyai kompetensi terhadap apa yang diucapkannya, dan (3) tidak boleh menyimpang dari yang telah diucapkan.
Tetapi kalau ditelaah lebih terperinci, harus diakui pula bahwa tiga syarat yang diberlakukan bagi ucapan performatif tersebut, kadang-kadang juga dapat diterapkan pada ucapan konstatif.
Karena alasan itulah maka disimpulkan bahwa tak ada perbedaan yang bersifat rnutlak antara ucapan performatif dan ucapan konstatif. Yang jelas, setiap mengucapkan kalimat atau bacaan, baik itu performatif ataupun konstatif, merupakan suatu tindakan dan harus dipertanggung-jawabkan. Karena setiap bacaan mempunyai tatanan, fungsi, dan makna sendiri-sendiri yang juga terikat pada situasi dan konteksnya. Jadi, seseorang tidak boleh sembarangan mengucapkan bacaan, jika tidak mempunyai pengetahuan atau dasar tentang yang diucapkannya.
Perlu diketahui pula bahwa tiga hal yang mengakibatkan tidak berlakunya suatu ucapan performatif ini tidak mengakibatkan kalimat tersebut sungguh-sungguh salah, tapi pada umumnya unhappy. Ujaran performatif hanya dapat mengalami kegagalan-kegagalan.

Manfaat berjamaah
Dari sisi tindakannya, ucapan tidak bisa benar atau salah, tetapi bisa happy atau unhappy. Dan rasa senang lebih aplikatif ketimbang rasa ikhlas. Maka bisa dimaklumi bila Jalaluddin ar-Rumi mengatakan bahwa tanpa rasa cinta, segala amal perbuatan kita tidak akan dihitung.
Dan untuk membangkitkan rasa senang tersebutlah sebagian dari rnanfaat sholat berjamaah. Dengan sholat bersama-sama di mana terdapat situasi semangat dan tenteram, diharapkan akan menimbulkan rasa senang. Jika diperluas, alasan seperti itulah yang menyebabkan keberadaan acara-acara ritual atau peringatan seperti maulid nabi dalam tradisi Islam tetap dipertahankan. Maklum jika al-Ghazali pernah mengecam mereka yang meremehkan ritual-ritual keagamaan tersebut.

Penutup
Sepintas hasil aplikasi alur pemikiran pra-Speech Acts pada bacaan sholat tampak sulit difahami (sudif) namun tanpa disadari ini sebenarnya lebih sebagai moralitas dalam aktivitas keseharian kita.      
Tetapi, mengapa lebih sebagai moralitas? Di sini saya telah mencapai batas pembicaraan; melanjutkannya berarti akan merampas hak, hak dari pembaca, pembaca yang belum merasakannya ....                               
Lilrid: wallahu a’alam.

No comments:

Post a Comment