Pendahuluan
Setelah capek mikirin urusan jarum jam, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka oleh seseorang, teman saya mungkin. Sambil mendekati saya lalu dia berkata ""Heh tangi-tangi, jaréné meh mulih?". Dengan berat pun saya membuka mata dan bertanya sambil melihat tangannya yang ada jam tangannya "Wis jampiro iki?", "Jam papat”, jawabnya.
Selang beberapa menit setelah berkemas dan keluar ruangan, saya terganggu oleh peristiwa tadi. Yakni, kok dia bisa mengatakan “jam papat” padahal hanya tadi sepintas saya lihat jamnya tidak tertulis angka-angka namun titik-titik melingkar saja. Ah, mungkin karena faktor kebiasaan dia saja. Seperti pelajaran di perkuliahan dimana bahasa juga masalah kebiasaan, termasuk berbahasa Inggris yang dianggap sulit, dari dulu maupun sekarang.
Karena "sulit”-nya, saya jadi ingat kisah tentang George B Shaw, seorang penulis kenamaan dan kaya asal Inggris, yang pada suatu waktu pernah menuliskan didalam surat wasiatnya untuk memberikan hadiah kepada siapa saja yang menciptakan ejaan yang sangat mudah bagi bahasa Inggris. Beliau menawarkan dana untuk perbaikan/ penyempurnaan ejaan bahasa Inggris, meski sampai sekarang tidak ada satupun orang yang berminat.
Ya…lah, meski jarang disinggung di perkuliahan (sengaja tidak dibahas, dianggap biasa), namun tak bisa dipungkiri bahwa dipandang dari sistem ejaan (fonologis) bahasa Inggris termasuk bahasa yang pengejaannya jelek, karena tiadanya konsistensi di dalam menyajikan konversi bunyi ke huruf, Coba bayangkan, seandainya 'ghotike* itu ada dalam perbendaharaan kata bahasa Inggris, bagaimana pengejaannya bila mengacu pada 'cough', 'women', "nation”, dan “knife”? Piye jal....
Itulah kenyataannya, berbahasa ada faktor kebiasaannya, selain faktor turunan tentunya. Biso jalaran soko kulino. Namun kembali ke permasalahan angka jam, sepertinya kulino saja tidaklah cukup, kalau diteliti lebih dalam pasti ada unsur lainnya, yakni membayangkan? Dan lagi-lagi... menghayal?
Angka Bayangan dan Kenyataan
Untuk dapat mengerti jam tak berangka tentu kita tahu atau punya pengetahuan ataupun paling tidak pernah melihat jam yang berangka. Pada saat pertama kali melihat jam tak-berangka tersebut kita dengan-pengetahuan masih harus membiasakan diri dengan membayangkan jam yang berangka atau menebak-nebak. Dan lama-kelamaan pasti kita akan menjadi terbiasa dengan jam itu.
Lalu yang kedua adalah faktor posisinya, jika ada gambar jam tak berangka berpoisisi atau dipasang seperti itu (lihat gambar), dengan membayangkan angka jam, pastilah kita akan segera mengetahui itu jam 12 tepat. Bila pada siang hari ya jam 12.00 siang, dan bila malam hari itu jam 12.00 malam. Kite akan menolak itu dikatakan jam 01.00 atau 13.00, Singkatnya kita juga tahu situasi dan konteknya.
Kemudian yang terakhir, jika gambar angka jam tadi diputar 45° (tak termasuk jarumnya) tentu kita cenderung akan mengatakannya sebagai jam 12:00 atau jam 00:00, sebab kita punya pengetahuan tentang sistem jam tersebut. Dimana angka 12 selalu diatas sebagai patokan, mengingat waktu sistem jam tersebut mulai dihitungnya memang berpatokan pada lingsirnya bayangan matahari, dan berakhir pada saat bayangan matahari tepat diatas ufuk juga. Dari jaman dulu orang sudah membagi waktu menjadi 24 jam, lalu dibagi dua (12 jam + 12 jam) guna efisiensi. Adapun siang dan malam tak ada hubungannya dengan jam, karena didasarkan pada suasana terang dan gelap.
Pada tulisan “Jurus Tertinggi” telah disinggung bahwa fenomena-fenomena dalam ilmu-ilmu budaya, termasuk kesusastraan atau kebahasaan, seringkali hanya bisa didekati dengan to learn, mengerti. Dan kesimpulan yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah syarat untuk lebih mengerti suatu permasalahan tadi adalah membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang memungkinkan suatu makna. Kemudian, pengetahuan tentang konteks. Dan akhirnya, mempunyai pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural yang menentiikan gejala yang kita pelajari.
Aplikasinya
Cara belajar yang sederhaha tentang apapun adaiah dengan melihat dan menirukan terlebih dahulu. Untuk bisa menggambar Doraemon, kita harus terlebih dahulu melihatnya di TV atau gambar yang ada. Untuk bisa menyanyikan lagu Cucak Rowo, kita perlu mendengarkan terlebih dahulu lagu tersebut dan menghapal tiap baitnya, Untuk mengerti kata "chair (=kursi)" perlu kita sendiri mempunyai pengetahuan atau pengalaman tentang yang dimaksud chair tersebut,
Sama halnya dalam belajar suatu bahasa asing (Inggris). Untuk mengerti suatu kalimat, misalnya: Honey, I shrunk the kid, kita harus mengerti kata-kata yang membentuk kalimat itu satu per satu, dan untuk mengerti kata-kata bersangkutan, kita harus mengerti kalimat tersebut dan terus berputar seperti itu, seperti telah disinggung sebelumnya, sampai akhirnya kita terbiasa dengan penggunaan kalimat itu.
Penutup
Namun, tidak ada sesuatupun yang merupakan cara "yang baku" untuk memandang permasalahan kebahasaan. Kesimpulan yang bisa kita capai benar-benar bergantung pada paradigma yang kita terapkan: cara pandang (framework) yang kita gunakan untuk memikirkan masalah. Dengan kata lain tidak ada yang dinamakan kebenaran utama.
Oh ya, omong-omong tentang jam "tak-berangka" itu juga tergantung penggunaannya. Mengapa juga harus karena penggunaannya? Di sini sekali lagi saya telah mencapai batas pembicaraan; melanjutkannya berarti akan merampas hak, hak dari peinbaca, pembaca yang tak-mudah-percaya....
Lilrid: Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment